“Peristiwa
tersebut menjadi peringatan bagi kita agar kita menghormati Ekaristi
Sakramen Mahakudus. Semoga Allah yang maharahim mengampuni dosa kita
karena tidak hormat pada Ekaristi,” kata Uskup Agung Semarang Mgr
Johannes Pujasumarta kepada PEN@ Indonesia lewat email 17 April 2012.
Mgr
Pujasumarta menanggapi peristiwa hosti yang jatuh saat komuni dalam
perayaan Ekaristi di Gereja Paroki Santo Fransiscus Xaverius Kidul
Loji, Yogyakarta, pada Minggu Kerahiman Ilahi, 15 April, yang dipimpin
kepala paroki Pastor Vincentius Suparman Pr.
“Baru malam
ini Senin, 16 April 2012, jam 19.15, waktu makan malam di Pastoran
Sanjaya saya mendengar peristiwa tersebut dari Rama Saryanto,” kata Mgr
Pujasumarta.
Sebelumnya Vikep Yogyakarta Pastor
Bernardinus Saryanto Wiryaputra Pr menceritakan kisah itu kepada ketua
komsos Keuskupan Agung Semarang (KAS) Pastor Petrus Noegroho Agoeng
Sriwidodo Pr yang kemudian membagikannya ke milis para wartawan Katolik.
“Saya
hanya mencatat ulang cerita yang saya dapat dari Rama Saryanto. Soal
itu darah apa dan apa saya belum tahu karena sekarang ini kami baru ada
pertemuan Dewan Karya Pastoral KAS di Muntilan,” kata imam itu kepada PEN@ Indonesia, 16 April.
Menurut
catatan yang dibagikan itu, di saat komuni, seorang prodiakon
menerimakan komuni kepada salah seorang umat muda atau remaja. “Namun,
saat mau disantap, hosti itu jatuh. Ketika dicari, hosti itu tidak
ditemukan,” tulis Pastor Agoeng seraya menambahkan bahwa komuni
dilanjutkan setelah anak tadi diberi hosti lain lantas disantap.
Selesai komuni, lanjut imam itu, prodiakon matur
(datang melapor) pada pastor yang memimpin Misa dengan takut dan
gemetar. “Lantas hosti dicari lagi. Di tempat dekat pembagian komuni
ditemukan gumpalan darah sebesar hosti,” tulis Pastor Agoeng.
Selanjutnya diceritakan bahwa “gumpalan darah itu dilap dengan purificatorium (sehelai kain lenan putih berbentuk segi empat untuk membersihkan piala, sibori dan patena), kemudian purificatorium dibersihkan dengan air suci.”
Setelah
prodiakon yang membagi komuni, anak yang menerima komuni, ibu dari anak
tersebut dan beberapa umat diajak berdoa bersama dan mohon ampun atas
kelalaian, purificatorium disimpan di piksis dan diletakkan di kapel pastoran.
Piksis adalah “kotak” atau wadah kecil berbentuk bundar dengan engsel penutup, serupa wadah jam kuno. Piksis biasanya dibuat dari emas. Piksis
dipergunakan untuk menyimpan Sakramen Mahakudus, yang akan dihantarkan
kepada mereka yang sakit, atau yang akan ditahtakan dalam kebaktian
kepada Sakramen Mahakudus.
Pada pukul 24.00, lanjut Pastor Agoeng, Pastor Suparman bersama Pastor Saryanto melihat purificatorium
yang disimpan. “Yang bekas dibersihkan masih basah dan bercak darahnya
mulai pudar, tetapi di bagian kering ada bekas darah warna merah
kecoklatan. Baunya wangi,” tulis imam itu. Purificatorium disimpan kembali di kapel, kata imam itu.
Ketika diminta oleh PEN@ Indonesia untuk mengangkat peristiwa itu, Pastor Agoeng menjawab singkat: “Kalau itu bisa meneguhkan iman umat silakan Pak.”
Menanggapi
peristiwa itu, ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan (HAK)
KAS Pastor Aloys Budi Purnomo Pr yakin bahwa peristiwa itu bukan
kebetulan terjadi, “melainkan pernyataan Kerahiman Tuhan pada Pesta
Kerahiman Ilahi yang kita rayakan sesuai pesan Tuhan Yesus sendiri
kepada Santa Faustina, dan dilaksanakan dengan setia oleh Beato Yohanes
Paulus II, yang dua belas tahun silam menyerukan secara resmi bahwa
Minggu Paskah II adalah Pesta Kerahiman Ilahi.”
Bagi pemimpin
Majalah INSPIRASI itu, peristiwa di Kidul Loji menegaskan sabda Yesus
Kristus, "Berbahagialah mereka yang percaya meskipun tidak melihat!"
Sabda itu, kata imam itu, disampaikan kepada Thomas salah seorang
rasul-Nya yang tak mau percaya bahwa Yesus Kristus bangkit dari maut!”
Oleh
karena itu, imam itu mengajak umat Katolik untuk menjadikan peristiwa
itu sebagai pesan “agar kita selalu percaya bahwa dalam Sakramen
Mahakudus, Yesus Kristus sungguh-sunguh hadir secara nyata.”
Benar, kata Pastor Budi kepada PEN@ Indonesia,
16 April, rasa hormat terhadap Sakramen Mahakudus kian merosot.
“Lihatlah, orang tak bisa lagi membedakan gereja dan pasar. Di gereja
mainan hp dan sejenisnya. Di gereja omong sendiri. Di gereja bersikap
tidak sopan. Padahal di gerejalah tersimpan Sakramen Mahakudus dalam
Tabernakel. Tapi umat sering tak peduli akan hal ini!”
Imam
itu selalu prihatin dan sedih bila melihat umat Katolik merangkai bunga
di dalam gereja, sambil ngobrol, dengan pakaian tak semestinya,
teriak-teriak seakan-akan gereja tak beda dengan pasar, dengan alasan
bahwa Sakramen Mahakudus sudah dipindahkan.
"Orang-orang
ini harus belajar dari kebudayaan keraton! Lihatlah, meskipun tahta
raja tak ditempati sang raja, orang-orang keraton akan tetap bersikap
hormat bahkan menyembah tahta raja itu karena sadar bahwa itu adalah
simbol kehadiran sang raja. Demikian juga dengan tabernakel, walaupun
Sakramen Mahakudus sudah dipindahkan, tak berarti bahwa kita boleh delajigan
(bahasa Jawa: bersikap tidak hormat) di gereja! Itulah fenomena sikap
hormat terhadap Sakramen Mahakudus yang merosot!” kata imam itu.
Pesan
dari peristiwa ini bagi Pastor Budi yang sangat gemar dengan Adorasi
Ekaristi Abadi, adalah “Tuhan Yesus mengajak kita untuk sadar bahwa Dia
sangat dekat dengan kita! Kita harus terus-menerus membangun sikap
tobat dengan berdoa silih dan mohon ampun atas dosa-dosa kita.
Sebagaimana Allah berbelas kasih kepada kita, kita pun harus saling
berbelas kasih satu sama lain. Mari kita tingkatkan sikap hormat pada
Ekaristi dan Adorasi! Yesus Kristus sungguh hadir di sana! "Demi
sengsara Yesus yang pedih, tunjukkanlah belas kasih-Mu kepada kami dan
seluruh dunia!" Yesuslah andalan kita!”***
Sumber: PEN@ Indonesia pada 16 April 2012 pukul 22:10 ·
Tidak ada komentar:
Posting Komentar